Diduga Ada Kekerasan dan “Jual Beli Pasal” di Polres Mojokerto, PJI Layangkan Klarifikasi Tak Dijawab

 


Mojokerto, Frefensinews.my.id — Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) mengungkap dugaan serius praktik penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran hukum dalam proses penyidikan di Polres Mojokerto. Temuan ini mencuat setelah dilakukan investigasi oleh tim jurnalis PJI, menyusul laporan anggota yang keluarganya menjadi tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan.

Ketua Umum PJI, Hartanto Boechori, menyampaikan bahwa pihaknya telah dua kali mengirim surat klarifikasi kepada Kapolres Mojokerto dan Kasat Reskrim Polres Mojokerto. Namun hingga berita ini diturunkan, tidak ada satu pun tanggapan diberikan oleh institusi tersebut.

 “Kami mengajukan 14 pertanyaan penting melalui dua surat resmi bertanggal 7 dan 11 Juli 2025, namun sama sekali tidak direspons,” ujar Hartanto.


Tersangka Diduga Dianiaya dan Dipaksa Teken BAP

Perkara bermula dari penangkapan ARH (27), adik ipar seorang anggota PJI, pada 8 Mei 2025 atas dugaan penganiayaan terhadap pacarnya. ARH diamankan oleh Polsek Sedati dan kemudian diserahkan ke Unit Resmob Polres Mojokerto. Pemeriksaan dilakukan malam harinya tanpa didampingi penasihat hukum, meski keluarga telah meminta.

Keesokan harinya, keluarga tersangka melihat mata kanan ARH lebam dan membiru, serta ada tanda-tanda kekerasan. ARH mengaku dipukul oleh oknum Kanit Resmob agar mengakui perbuatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta. Setelah menandatangani BAP karena tekanan fisik dan psikologis, ARH disebut ditawari penghilangan pasal berat dengan imbalan uang.

“Oknum penyidik bahkan menyebut nominal ‘kacamata’, yang diartikan sebagai ratusan juta rupiah,” ungkap Hartanto.


Investigasi Jurnalistik: Tawar-Menawar Pasal Rp150 Juta

PJI kemudian menerbitkan Surat Tugas Khusus Investigasi kepada tiga jurnalis anggotanya. Salah satu dari mereka mengaku diajak oknum penyidik ke belakang kantor Resmob, dan terjadi percakapan tawar-menawar untuk menghapus pasal 53 jo. 338 KUHP (percobaan pembunuhan) dengan nominal Rp150 juta. Chat yang menunjukkan percakapan dengan atasan unit turut ditunjukkan kepada jurnalis.

Pihak keluarga juga mengaku dimintai uang sebesar Rp10 juta untuk pengembalian barang pribadi tersangka yang tidak termasuk barang bukti. Ketika diminta klarifikasi, penyidik melempar tanggung jawab ke petugas tahanan.


Surat Maaf Korban dan Dugaan Rekayasa Hukum

Korban dalam kasus ini menyampaikan permohonan maaf dan mencabut laporan secara tertulis. Ia juga mengakui bahwa selama pacaran 4,5 tahun, ARH tidak pernah menunjukkan perilaku kasar, serta tidak percaya ada niat membunuh dalam insiden tersebut.

Dalam proses rekonstruksi kasus di Mapolres Mojokerto pada 9 Juli 2025, penyidik menyebut bahwa ARH telah didampingi penasihat hukum. Namun menurut tersangka, ia baru diminta menandatangani kuasa hukum seminggu setelah BAP dilakukan, yakni pada 16 Mei 2025. Jika benar ada tanda tangan penasihat hukum dalam BAP tertanggal 8 Mei, hal itu menimbulkan dugaan pemalsuan dan rekayasa hukum.

 “Jika benar ada penandatanganan kuasa sebelum waktunya, maka penyidik dan pengacara terlibat rekayasa hukum. Kami akan dorong agar semua oknum tersebut diproses hukum secara tegas, bahkan dicabut hak beracaranya,” tegas Hartanto.


PJI Dorong Reformasi Internal Penegak Hukum

PJI menyatakan bahwa langkah investigasi ini adalah bentuk kontrol sosial untuk menjaga marwah penegakan hukum. Hartanto menegaskan pihaknya tidak mencampuri proses hukum, namun menuntut agar semua prosedur dijalankan sesuai hukum tanpa kekerasan, tanpa rekayasa, dan tanpa transaksi gelap.

PJI berencana membawa temuan ini ke Propam, Wassidik, dan Intelkam Polda Jawa Timur, serta bila perlu mendorong Kapolri untuk turun tangan menindak tegas oknum pelanggar hukum di institusi kepolisian.

(Teddi)

Lebih baru Lebih lama