Eko Gagak: Dari Jalanan Perlawanan ke Panggung Pemikiran Kritis


Www frefensinews my id

Surabaya, 26 Juli 2025 – Dalam pusaran wacana sosial-politik Indonesia yang makin kompleks, satu nama kembali mencuat bukan karena kontroversi, melainkan karena konsistensi dan keberanian intelektual: Eko Prianto, atau yang akrab dikenal sebagai Eko Gagak.

Figur ini bukan sosok baru. Jejaknya terbentang sejak era 90-an, ketika rezim otoriter masih kuat mencengkeram ruang publik. Di jalanan, di forum-forum diskusi, hingga di halaman media alternatif, Eko menjadi salah satu penggerak opini yang lantang menyuarakan ketimpangan dan ketidakadilan.

Sebagai jurnalis sekaligus aktivis, Eko Gagak tak pernah menjadikan keberpihakan sebagai dosa. Baginya, keberpihakan pada rakyat kecil dan nilai-nilai demokrasi adalah keniscayaan. Dalam berbagai tulisannya, ia mengurai masalah bukan dari permukaan, tetapi dari akar: struktur ekonomi-politik yang timpang, kooptasi kekuasaan, dan lemahnya kontrol sosial terhadap elite.

Eko juga dikenal sebagai narator tajam tentang dinamika gerakan mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil. Ia menempatkan kepercayaan bukan sekadar strategi atau retorika sebagai bahan bakar utama dalam setiap bentuk perlawanan kolektif. Dalam pengamatannya, kepercayaan publik terhadap institusi negara maupun media tengah berada di titik kritis akibat kooptasi oligarki dan minimnya transparansi.

Reformasi dan Luka yang Belum Sembuh

Eko Gagak tak pernah lelah mengingatkan publik soal Reformasi 1998—bukan sebagai momen romantik, melainkan sebagai pekerjaan rumah yang belum tuntas. Ia mengulas krisis multidimensi yang terjadi kala itu sebagai titik balik, tetapi juga peringatan: bahwa perubahan politik tanpa transformasi struktural hanya akan melahirkan aktor-aktor baru dengan pola lama.

Dalam salah satu kolomnya, Eko menyebut peran media saat krisis sebagai “pedang bermata dua”: bisa membebaskan, tapi juga bisa memanipulasi kesadaran. Ia mengkritik tajam media yang berubah fungsi dari alat kontrol kekuasaan menjadi pelayan kepentingan kapital.

Menyoal Nasionalisme dan Realitas Hari Ini

Tak jarang Eko Gagak memprovokasi pikiran publik dengan narasi yang menohok tentang nasionalisme. Baginya, nasionalisme hari ini tak boleh berhenti pada simbol dan jargon, tetapi harus menyentuh soal keadilan distribusi, akses terhadap hak-hak dasar, dan penghormatan terhadap keragaman. Ia menolak nasionalisme sempit yang tumbuh dari politik identitas dan eksklusivitas.

Media dan Perjuangan Mewakili yang Bungkam

Dalam lanskap demokrasi digital saat ini, Eko menempatkan media sebagai arena utama pertarungan ide. Ia menolak gagasan netralitas media jika itu justru menjadi dalih untuk absen dari keberpihakan terhadap kebenaran. Media, menurutnya, harus memberi ruang bagi mereka yang selama ini dibungkam: kelompok miskin kota, buruh informal, petani tanpa lahan, atau komunitas adat yang terpinggirkan oleh proyek pembangunan.

Melampaui Kata, Menjadi Arah

Kini, di usianya yang tak lagi muda, Eko Gagak tetap menyala. Ia bukan sekadar penulis opini atau pembicara seminar. Ia adalah arah bagi mereka yang gelisah tetapi belum tahu harus mulai dari mana. Gagasan-gagasannya menjadi bahan bakar bagi generasi muda yang haus akan narasi alternatif di tengah banjir informasi yang sering kali dangkal dan manipulatif.

Dalam satu kesempatan, ia pernah berkata, “Jurnalisme itu keberanian menyusun makna dari reruntuhan kebenaran yang dikaburkan.” Dan begitulah ia menulis: bukan untuk memuaskan kekuasaan, tapi untuk membangunkan yang terlelap.

🖋 Pewarta: Teddi | Frefensinews.my.id

* Redaksi menerima kritik dan saran di: redaksifrefensi@gmail.com

Lebih baru Lebih lama